Pada kesempatan kali ini mungkin tulisan ini tidak akan berbentuk kumpulan paragraf yang panjang lebar. Yah, cuma kurang dari 10 paragraf yang harus segera dituangkan dari pikiran saya saja. Lohhh? Itu banyak tau! Wkikiki, cekidott...
Oke, berbicara tentang maaf- memaafkan, mayoritas orang memusatkan pikirannya pada suatu ceremony yang disebut dengan idul fitri. Pertanyaannya, apakah maaf-memaafkan itu cuma ada di 1 ceremony berbentuk idul fitri saja? Tentu saja tidak dan kita semua mengetahui jawaban ini.
Pada suatu ketika saat saya mem-flashback beberapa kejadian yang terjadi di hidup saya, saya menemukan sebuah kejanggalan perilaku sosial di bidang maaf-memaafkan antara saya dan orang lain disekitar saya. Sebenernya ini tidak tepat disebut kejanggalan karena definisi janggal itu lahir hanya dari pemikiran saya sendiri. Kata yang paling tepat mungkin adalah diferensiasi karakter manusia.
Berawal dari konflik lahir ataupun batin yang pernah terjadi diantara saya dan sahabat, saya dan pacar, saya dan orang tua, saya dan tetangga dan lain- lain yang sempat memicu gejolak dan emosi di masing- masing individunya, saya semakin menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Besar pencipta dari segala ruh yang ada di dunia ini luar biasa kuasanya dalam membentuk pribadi- pribadi tiap individu antara satu dengan yang lain berbeda dan memiliki ciri khas masing- masing.
Di suatu kasus konflik tertentu, ketika saya dihadapkan pada emosi dan gejolak yang dahsyat, saya seketika harus menumpahkannya dan mentransfernya keluar dari jiwa saya. Setelah beberapa saat emosi semakin meredam, saya mudah melupakan apa yang baru saja terjadi dan memaafkan penyebab konflik tersebut. Bagi saya itu hanya fase dimana saya memang berada di titik klimaks untuk mencurahkan emosi jiwa saya keluar, dan fase dimana saya mengontrol diri dan melatih keikhlasan saya semata- mata hanya untuk menyerahkan segala permasalahan yang ada di kehidupan saya kepada Tuhan saya.
Contoh nyata saja ketika saya merasa orang lain telah mendzolimi saya baik lahir maupun batin, baik kawan maupun lawan, begitu pula mungkin kekasih, saya merasa lebih cepat melupakan dan memaafkan dan hal ini bertentangan 180 derajat dengan apa yang mayoritas terjadi di lawan saya dalam konflik. Saya menemukan kecenderungan orang sulit memaafkan saya ketika saya melakukan suatu kesalahan.
Ya, arti pentingya, saya disini belajar mulai memahami bahwasannya setiap individu diciptakan berbeda. Gampang memaafkan tapi susah dimaafkan mungkin hal yang biasa yang sebenarnya bisa saya maklumi dalam kehidupan masyarakat yang multikultural dan dinamis. Ahh, terima kasih Allah, saya semakin mengerti...